JELAJAHPOS.COM | Baru-baru ini Binsar Gultom diganjar promosi menjadi Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Sepak terjang sang hakim yang terkenal tegas dan berani ini di sejumlah kasus pidana dan pelanggaran HAM berat ini menghantarnya menjadi hakim tinggi di sejumlah Pengadilan Tinggi.
Sederet kasus yang menyita perhatian publik, dari kasus pelanggaran HAM berat di Timor Leste sampai pada kasus kopi sianida, cukup membuat Binsar Gultom makin dikenal dengan ketegasan dan keberaniannya memutus perkara.
Pada tahun 2016 silam, publik sempat dibuat heboh dengan kasus kopi sianida. Sidang yang disiarkan secara live atau langsung di sejumlah media televisi nasional itu cukup menyita perhatian masyarakat nasional maupun internasional.
Terdakwa Jessica Kumala Wongso akhirnya terbukti bersalah dan divonis majelis hakim dengan hukuman penjara selama 20 tahun. Ketua Majelis Hakim ketika itu Binsar Gultom, dengan yakin menyatakan terdakwa terbukti bersalah membunuh korbannya bernama Wayan Mirna Salihin, di kopi di Olivier Cafe, Grand Indonesia, Jakarta.
Kasus itu sendiri sempat diajukan ke tingkat Peninjauan Kembali oleh terdakwa melalui kuasa hukumnya Otto Hasibuan tetapi ditolak Mahkamah Agung (MA) sehingga Jessica tetap menjalankan masa hukuman selama 20 tahun penjara. Dan perkara ini sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam bentuk Yurisprudensi MA.
Kinerjanya sebagai hakim cukup diakui sehingga menghantar Binsar Gultom dipromosikan menjadi hakim tinggi di Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. Berdasarkan penelusuran dari website resmi badan peradilan umum (badilum) di https://badilum.mahkamahagung.go.id/layanan-administrasi/pengumuman-mutasi-hakim/3834-hasil-tpm-tanggal-9-november-2022.html, terdapat nama Binsar Gultom.
Pada hasil Tim Promosi Mutasi (TPM) hakim, di nomor urut 406, terdapat nama Dr Binsar Gultom SH, SE, MH, dengan jabatan lama sebagai hakim di PT Banten, mendapatkan promosi jabatan menjadi Hakim Tinggi (HT) di PT DKI Jakarta.
Pria kelahiran Sibolga, Provinsi Sumaterapada 07 Juni 1958, juga pernah terlibat dalam persidangan sejumlah pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) berat Timor Timur dan Tanjung Priok, di pengadilan HAM Adhoc Jakarta, sejak 2002-2005.
Kala itu, Binsar dengan berani dan tegas sempat mencecar pertanyaan kepada mantan Presiden BJ Habibie, terkait lepasnya Timor Timur dari NKRI.
Majelis hakim Binsar berani memvonis hampir seluruh terdakwa bersalah. Ketika itu Binsar bersama ketua Majelisnya bernama Andi Samsan Nganro, kini Wakil Ketua MA bidang Yudisial dan ditemani hakim adhoc HAM Heru Susanto dari Universitas Surabaya, dosen Trisakti Amirudin Abureyra dan Sulaeman Hamid dari Universitas Sumatera Utara, Medan.
Sebelum berkarir di bidang hukum, Binsar Gultom pernah menuntut pendidikan S1 jurusan Hukum Pidana di Universitas Atmajaya Yogyakarta, dan lulus tahun 1985. Dia meneruskan pendidikannya di jurusan Manajemen STIE Jagakarsa, Jakarta Selatan dan lulus pada tahun 1994. Kemudian melanjutkan studi S2 Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM Jakarta jurusan Business Law dan dinyatakan lulus pada 2003.
Binsar juga berhasil menyelesaikan studi S3 Doktor Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) pada tahun 2010 di bidang HAM dengan judul disertasi, Pelanggaran HAM Dalam Hukum Keadaan Darurat di Indonesia, studi kasus Pelanggaran HAM Berat Timor Timur 1999, dengan promotor Jimly Asshiddiqie, dengan co-Promotor Hikmahanto Juwana dan E Lotulung.
Memulai karier sebagai PNS Direktorat Pidana MA pada tahun 1984, Binsar kemudian diutus menjadi calon Hakim di PN Bogor pada 1992. Selanjutnya pada 1996 dimandatkan oleh Presiden RI sebagai Hakim Pratama Muda, dengan penempatan di PN Manatuto, Timor Timur Tahun 1995. Dan sempat dimutasi Hakim di PN Dili, ibu kota Timor Timur 1998.
Bersama keluarganya Binsar eksodus ke Jakarta setelah Timor Leste dinyatakan terpisah dari Indonesia dan ditempatkan mejadi hakim di PN Purwakarta 1999. Kemudian menjadi Hakim di PN Bogor pada akhir 1999 dan ditunjuk menjadi salah satu Hakim HAM pada kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur dan Tanjung Priok.
Binsar kemudian mendapatkan promosi sebagai Hakim PN Medan 2004 dan masih tetap bertugas bolak-balik ke Pengadilan HAM adhoc di Jakpus untuk mengadili kasus pelanggaran HAM berat Tanjung Priok hingga tahun 2005.
Kemudian Binsar dipromosikan menjadi Wakil Ketua dan Ketua PN Simalungun 2006 sampai 2009. Lalu pindah ke PN Bengkulu 2010, dan PN Palembang 2014.
Selanjutnya ke PN Jakpus pada 2015, dengan kasus yang menggemparkan seluruh Indonesia kala itu yakni kasus kopi maut sianida. Hingga tahun 2017 dipromosi menjabat hakim tinggi di Bangka Belitung, dan Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi (PT) Banten 2019 sampai sekarang.
Selain pernah menjadi hakim peradilan umum dan HAM, Binsar juga memiliki berbagai macam sertifikat, seperti Hakim bersitifikat di bidang PHI, Pemilu dan Tipikor, bahkan Lingkungan Hidup.
Binsar juga sudah pernah melanglangbuana ke Sidney-Adelaide terkait Hukum Lingkungan 2001, ke Hawaii-Denhaag Belanda terkait pendidikan HAM 2003, ke Singapura 2015 tentang masalah HAM, dan terakhir ke Portugal-Spanyol 2019 terkait Tata Kelola Peradilan bersama Dirjen Badilum MA.
Meski didera kesibukan sebagai seorang hakim, Binsar juga masih menjalankan pengabdiannya menjadi dosen Pascasarjana di kampus Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, serta di Universitas Esa Unggul, Jakarta sampai sekarang. (**)