JELAJAHPOS.COM | Makassar — Suasana di Kantor Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) mendadak menjadi perhatian awak media pada Kamis (26/06/2025), setelah sejumlah kepala dinas (kadis) dari Kabupaten Bone diperiksa oleh penyidik bidang pidana khusus (Pidsus) Kejati Sulsel. Pemeriksaan itu terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan dana pokok-pokok pikiran (pokir) anggota DPRD Kabupaten Bone tahun anggaran 2024.
Pemeriksaan tersebut dilakukan berdasarkan Surat Perintah Penyelidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan Nomor: PRINT-619/P.4/F.d.2/06/2025. Dalam penyelidikan tersebut, penyidik mendalami indikasi adanya praktik jual beli proyek yang melibatkan sejumlah legislator daerah dengan imbalan fee sebesar 15 hingga 20 persen dari nilai proyek yang bersumber dari dana pokir.
Sejumlah kepala dinas tampak keluar dari Gedung Kejati Sulsel sekitar pukul 16.00 WITA Kamis Sore setelah menjalani pemeriksaan intensif selama kurang lebih enam jam. Mereka diperiksa sejak pukul 10.00 pagi oleh tim penyidik dari Pidsus Kejati Sulsel. Suasana penuh ketegangan terlihat saat para pejabat tersebut berupaya menghindari sorotan media.
Salah satu yang menjadi perhatian adalah Kepala Dinas Tata Ruang dan Permukiman (Tarkim) Kabupaten Bone, Budiono, yang terlihat keluar bersama beberapa kadis lainnya. Meski sejumlah jurnalis telah menunggu untuk mendapatkan pernyataan, Budiono memilih bungkam. Ia tampak bergegas menuju kendaraannya tanpa memberikan komentar satu kata pun.
Upaya konfirmasi yang dilakukan oleh awak media kepada pejabat lain pun mengalami nasib serupa. Beberapa di antaranya justru saling tunjuk dan mempercepat langkah untuk segera meninggalkan area kantor Kejati. Beberapa bahkan terlihat berlari kecil menuju mobil masing-masing, enggan menjawab pertanyaan wartawan.
Hasil investigasi dari Tim Advokasi Aktivis LAP menemukan penggelembungan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) Tahun 2023 dalam penyusunan APBD Parsial I Tahun Anggaran 2024. Berdasarkan hasil audit resmi BPK, SiLPA semestinya hanya sebesar Rp25 miliar. Namun, dalam dokumen APBD Parsial I, angka tersebut meningkat drastis menjadi Rp106 miliar, tanpa dasar perhitungan yang rasional. Selisih sebesar Rp81 miliar digunakan untuk membiayai berbagai program dan proyek baru, termasuk usulan anggota DPRD, yang tidak tercantum dalam dokumen perencanaan seperti RKPD, KUA-PPAS, dan APBD Pokok. Praktik ini melanggar ketentuan dalam Permendagri Nomor 15 Tahun 2023 dan Permendagri Nomor 77 Tahun 2020. Dampaknya, terjadi defisit anggaran, pemborosan belanja, keterlambatan pembayaran kepada pihak ketiga.
Selain itu, ditemukan pula manipulasi terhadap target Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam penyusunan APBD maupun Perubahan APBD TA 2024. Target PAD secara sengaja dinaikkan melebihi potensi riil untuk membuka ruang anggaran demi mengakomodasi proyek-proyek DPRD yang tidak ada dalam RKPD. Kebijakan ini berisiko tinggi karena berpotensi menimbulkan shortfall PAD sekitar Rp26 miliar pada akhir tahun anggaran. Tindakan tersebut tidak hanya melanggar prinsip kehati-hatian dalam penyusunan anggaran, tetapi juga bertentangan dengan PP Nomor 12 Tahun 2019 dan Permendagri Nomor 15 Tahun 2023 yang menekankan perlunya konsistensi antara target pendapatan dengan dokumen perencanaan dan kondisi riil daerah.
Lebih jauh, proses pembahasan RAPBD TA 2024 oleh DPRD dan TAPD juga menyimpan persoalan serius. Ratusan paket proyek aspirasi senilai Rp70 miliar yang tidak pernah dibahas dalam dokumen KUA-PPAS maupun pra-RKA SKPD justru dimasukkan dalam tahap penetapan APBD Serta potensi kerugian keuangan daerah Hal ini merupakan Korupsi Kolusi Dan Nepotisme Karna ada pengaturan penetapan pelaksana/rekanan dalam pengadaan barang/jasa tersebut. Tutupnya (2R)